Hukum Membuat Bangunan,Binaan Dan Solat Atas Perkuburan


Hukum Membuat Bangunan,Binaan Dan Solat Atas Perkuburan 1

Ramai diantara kita umat Islam tidak mengetahui dengan jelas dengan kebanyakan amalan yang dilakukan oleh orang –orang tua kita, adakah ianya bertepatan dengan Agama dan punyai sandaran dengan keharusan untuk melakukannya, ramai juga yang keliru bilamana amalan yang biasanya dilakukan yang telah menjadi adat dan sebati dengan dengan masyarakat Islam dipertikaikan oleh sesetengah “ulama muda” yang mendakwa sebagai Mujaddid di kurun ini sebagai pemacu perubahan Ummah yang membawa fahaman keras yang mengkafirkan umat Islam.
Dengan suara yang agak keras mengbidaahkan orang yang tak sehaluan dengan mereka, mereka sewenang-wenangnya mengeluarkan fatwa baru yang menyesatkan amalan yang biasa diamalkan masyarakat semenjak berkurun, dengan bermacam-macam tuduhan sampai kepada tuduhan dan perlecehan terhadap ulama-ulama besar serta karangan mereka, seolah-olah para ulama ini yang membawa umat ke neraka, namun begitu golongan terpelajar dari kalangan pembela Ahli Sunnah Wal Jamaah harus proaktif dalam menghadapi golongan baru ini, mereka haruslah melengkapi diri mereka dengan ilmu pengetahuan yang cukup, mereka bukan hanya menpertahankan hujjah ulama silam , malah atas bahu merekalah kewajipan mentahqiq dan membuat hasyiah keatas karangan-karangan ulama silam.
Umat Islam amat beruntung dikala zaman yang penuh dengan cacian dan makian terhadap ulama silam ini masih ada ulama yang seperti shaikhuna Sheikh Nuruddin Al-Banjari Al-Makki, Al-Habib Munzir Al-Musawa,Al-Habib Ali Al-Jufri, Al-Habib Sayyid Muhammad Bin Alawi Bin Abbas Al-Al-Maliki Al-Hasani Al-Makki dan banyak lagi yang banyak menghasilkan karya, tahqiq dan hasyiah terhadap karangan ulama silam dalam mempertahankan agama Islam, semoga Allah merahmati mereka dunia akhirat di atas jasa-jasa mereka dalam mempertahankan agama dari puak-puak yang mendakwa mereka sajalah yang membawa Islam yang sebenar.
Pada kali ini saya akan memetik dan menaqalkan dari tulisan ulama muda Ahlu Bait Rasulullah Saw dalam masalah hokum membina binaan dan solat diatasnya. Seperti yang kita ketahui, kebanyakan golongan salafi, wahabi ,kaum muda dan seumpama dengannya mengharamkan sebarang binaan dan solat diatas perkuburan dan melemparkan tuduhan terhadap orang yang melakukannya sebagai mubtadi’, sesat, malah ada tuduhan ke tahap menkafirkan umat Islam, wal iyazubillah min zalik. Berikutan ini tulisan dari Al-Habib Munzir Al-Musawa yang saya petik dari karangannya somoga ianya bermanfaat buat umat Islam dalam menghadapi golongan salafi dan wahabi, selamat membaca ;
Jawaban Habib Munzir Al-Musawa atas pertanyaan apakah hukum membina binaan dan solat atas perkuburan.
Jawaban Habib Munzir Al-Musawa: Rasul Saw pernah solat jenazah(solat ghaib) di perkuburan umum, Rasul solat jenazah dengan mengadap perkuburan setelah (mayat) dimakamkan disuatu permakaman lalu bermakmun dibelakang beliau shaf para sahabat Ra, beliau Saw bertakbir dengan takbir 4 kali (sila rujuk hadis Muslim , hadis no 954), Nabi solat ghaib diatas kuburan( Hadis Muslim,Hadis 955).
(Di zaman Nabi) telah wafat seorang yang telah biasa menyapu masjid,maka Nabi Saw telah bertanya tentangnya, maka para Sahabat mengatakan beliau telah wafat, maka Rasul Saw telah bersabda: “kenapakah kalian tidak memberitahuku?, para Sahabat beranggapan perkara ini tidak terlalu penting mengabarkannya kepada Rasulallah Saw, maka Rasulullah Saw bersabda, “tunjukkan padaku kuburnya!”, maka rasul mendatangi kuburnya lalu menyalatkannya seraya berkata (kemudian selepas solat) : “sesungguhnya penduduk kuburan ini penuh dengan kegelapan, dan Allah menerangi mereka dengan solat keatas mereka, rujuk (hadis Muslim , hadis 956), hadis semakna dengan ini ada pada shahih Bukhari ,hadis no 1258.
Kita akan lihat ucapan para Imam.
1- Berkata guru Imam Ahmad Bin Hambal Ra, yaitu Imam Syafie Ra, “makruh memuliakan seseorang sehingga menjadikan makamnya sebagai masjid, (Imam Syafie tidak mengharamkan memuliakan seseorang sehingga makamnya dijadikan masjid, namun beliau mengatakannya makruh(sahaja), kerana ditakutkan fitnah keatas orang itu atau orang lain, dan hal (keadaan) yang tidak diperbolehkan adalah membangunkan masjid DIATAS makam setelah selesai jenazah dikuburkan, namun bila dibangunkan masjid lalu dibuat didekatnya makam orang yang mewakafkan masjid, maka tak ada larangannya”,demikian ucapan Imam Syafie(faidhul Qadir, juz 5, halaman 274).
2- Berkata Imam Al-Muhaddis Ibnu Hajar Al-Asqalani Ra, “hadis-hadis larangan ini merupakan larangan solat dengan menginjak-injak(memijak-mijak) kuburan dan solat diatas kuburan(yang mayat ada dibawahnya), atau berkiblat ke kubur, atau antara dua kubur, dan larangan itu tak mempengaruhi sahnya solat(maksudnya bila solat di atas makam, atau mengarah ke makan tanpa pembatas, maka solatnya tidak batal, sebagaimana lafaz dari riwayat kitab As-Solat oleh Abu Naim-guru Imam Bukhari Ra, ketika saidina Anas Ra solat di kuburan maka saidina Umar berkata ,”kubur,kubur maka saidina Anas melangkahinya, dan meneruskan solat, maka ini menunjukan solatnya sah dan tidak batal(fathu bari al-masyhur, juz1 halaman 154).
3- Berkata Ibnu Hajar, “berkata Imam Baidhowi; ketika ketika orang yahudi dan nasrani bersujud pada kubur para Nabi mereka, berkiblat, mengadap pada kubur mereka, menyembahnya,mereka membuat patung-patung, maka Rasulallah Saw melaknat mereka,dan melarang muslimin berbuat hal demikian itu, tapi kalau di jadikan masjid dekat dengan kuburan orang soleh, dengan niat bertabarruk dengan berdekatan pada mereka tanpa penyembahan dengan merubah kiblat padanya maka tidak termasuk dengan ucapan dalam yang dimaksud hadis itu, (fathul bari al-Masyhur, juz1 halaman 525).
4- Berkata Imam Baidhowi lagi, “bahwa kuburan Nabi Ismail itu adalah di Hathim(disamping Mizab di Kaabah dan dan di dalam masjid Al-Haram)dan tempat itu afdhol solat padanya, dan larangan salat di kuburan adalah kuburan yang sudah tergali (faidhul qadir, juz5, halaman 251).
Kita memahami bahwa masjidul Rasul Saw di dalamnya terdapat makam beliau Saw, Abu Bakar dan Umar Radiyallahu anhum, masjid diperluas dan diperluas namun jikalau perluasan itu akan menyebabkan hal yang di benci dan dilaknat Nabi Saw, kerana menjadikan kubur beliau ditengah-tengah masjid maka pastilah ratus Imam dan Ulama pada masa itu, memerintahakan agar perluasan tidak mencakup rumah Aisyah Ra(makam Nabi Saw).
Perluasan itu berlaku pada zaman Walid Bin Ab Malik yang dibaiat jadi Khalifah pada 4 Syawal tahun 86 Hijriyah sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari Ra, dan ia wafat pada 15 jumadil akhir pada tahun 96 Hijriyah, lalu di mana Imam Bukhari?, (194 Hijrah-256 Hijrah), Imam Muslim,(206 Hijrah-261Hijrah), Imam Syafie,(150 H-204H), Imam Ahmad Bin Hambal,(164H-141H), Imam Malik,(93H-179H), dan ratusan Imam-Imam yang lain?, apakah mereka berdiam diri membiarkan hal yang dibenci dan di laknat Rasulullah terjadi di makam Rasulallah Saw?, lalu (apakah) Imam-Imam yang hafal ratusan ribu hadis itu adalah para musrikin yang bodoh dan hanya menjulurkan kaki melihat kemungkaran yang terjadi di makam Rasulullah Saw?, (sila) munculkan satu saja ucapan mereka yang mengatakan bahwa perluasan masjid Nabawi itu adalah makruh, apa lagi haram.
Justeru inilah jawabannya, mereka diam kerana hal ini diperbolehkan, bahwa orang yang kelak yang bersujud(solat)menghadap makam Rasulullah Saw tidak satu pun yang berniat untuk menyembah Nabi Saw, atau menyembah Abu Bakar Ra, atau Menyembah Umar Ra, mereka terbatasi dengan tembok, maka hukum makruhnya sirna dengan adanya tembok pemisah yang membuat kubur-kubur itu terpisah dengan masjid, maka ratusan Imam dan Muhaddisin itu, tidak melarang perluasan masjid Nabawi, bahkan (di) masjid Haram pun, berkata Imam Baidhowi bahwa kuburan Nabi Ismail adalah di Masjid Al-Haram.wallahu ‘alam, intaha Meniti Kesempurnaan Iman Oleh Habib Munzir Al-Musawa.
bersambung bahagian 2….

TAHLIL UNTUK SI MATI APA SANDARANYA


Petikan Dari Buku Kenali Akidahmu Oleh Al-Habib Munzir Al-Musawa dari bab TAHLILAN

Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk
sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu
berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT
dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih,
Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau
namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa
ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan
berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan
memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah
hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha
puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas
dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk
Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat
Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya
yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW
saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan
ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih
Muslim hadits no.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan
Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya
apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab
Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai
Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak
disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk
mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang
menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat
manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG
KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini
telah mansukh dengan ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI
KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka
terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan
anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll
TAHLILAN
http://www.majelisrasulullah.org
Kenalilah Akidahmu 31
untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW
menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan
untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al
Qur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH
DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI
DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang
memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?,
hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat
qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang
awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an
dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat,
bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk
mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari,
Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu
Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila
mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya
muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak
pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang
mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil
yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh
Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang
orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha
illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang
mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada
muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan
untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan
atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan
computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan
mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal
itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya,
sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram,
bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka
tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari
kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR
Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu
membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka
TAHLILAN
http://www.majelisrasulullah.org
Kenalilah Akidahmu 32
ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas
setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu
berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia
ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku
mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas
akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat
buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak
melarangnya bahkan memujinya.
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu
ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan
hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :
 Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali
melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji
untuk Rasulullah saw”.
 Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq
Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang
pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk
Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah
saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.
 Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu
masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada
313H
 Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan
aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali
khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
Walillahittaufiq

Makanan pengaruhi, bentuk keperibadian manusia


Makanan pengaruhi, bentuk keperibadian manusia
Oleh Hasliza Hassan
hasliza@bharian.com.my
2010/03/27
Umat Islam perlu pastikan rezeki dinikmati daripada sumber halal bagi permudahkan ibadah

APABILA membicarakan isu makanan halal, semua mata akan memandang kepada pihak berkuasa seperti Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) yang bertanggungjawab mengeluarkan sijil serta logo halal dan Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi dan Kepenggunaan (KPDNKK) sebagai agensi penguatkuasaan.
Walaupun kerap pengguna diingatkan mengenai tanggungjawab serta kuasa yang ada pada mereka, tidak banyak usaha dilakukan ke arah meningkatkan kesedaran pengguna terutama umat Islam mengenai kepentingan mengetahui sumber makanan yang dimakan. Atau, ada usaha ke arah mengingat serta menyedarkan tetapi sama ada kurang berkesan atau masyarakat hari ini sudah tidak ambil pusing mengenai perkara itu dengan anggapan apa saja dijual di luar sana, halal untuk mereka.

Pendedahan mengenai sikap pengguna terutama umat Islam yang tidak menghiraukan atau mengambil berat apakah makanan dibeli dan dimakan itu benar-benar halal dapat dilihat dalam rancangan Aduan Rakyat terbitan TV3, siaran Rabu lalu.

Dalam kesibukan pihak berkuasa mengambil tindakan terhadap premis makanan menggunakan logo halal palsu dan melakukan kesalahan mengikut Akta Perihal Dagangan 1972, pelanggan di medan selera yang dikunjungi menunjukkan sikap tidak ambil peduli.

Tidak ada seorang pun yang dilihat berminat untuk mengetahui apa yang sedang berlaku dan kehadiran pegawai Jakim serta KPDNKK memeriksa premis sedikitpun tidak mengganggu aktiviti jual-beli di medan selera itu.
Namun, bagi umat Islam, mereka disuruh mencari dan mengambil makanan halal untuk memenuhi keperluan mereka seperti ditegaskan firman Allah yang bermaksud: “Wahai sekalian manusia! Makanlah apa yang ada di bumi, yang halal lagi baik.” (Surah al-Baqarah, ayat 168)

Penolong Pengarah Bahagian Dakwah, Jabatan Agama Islam Pahang (Jaip), Badli Shah Alauddin, berkata umat Islam perlu berhati-hati kerana Islam tidak berkompromi dalam soal makanan dan sebagai pembeli, hak membuat pilihan terletak seratus peratus pada diri mereka.

Katanya, makanan bukan perkara kecil kerana ia keperluan fizikal manusia dan kesilapan mengambil makanan yang tidak halal kepada umat Islam juga bukan perkara kecil disebabkan perbuatan itu akan berulang selagi tidak timbul kesedaran serta keinsafan.

“Inilah yang perlu kita maklum kepada masyarakat terutama umat Islam mengenai kepentingan menentukan sumber makanan yang menjadi darah daging kita biarlah daripada yang halal, bersih serta selamat kepada kesihatan.

“Ingin diingatkan juga, dosa pertama manusia kepada Allah ialah dosa makan seperti kisah Nabi Adam. Oleh itu, perkara makan bukan main-main tetapi ia perlu diberi perhatian tambahan pula sekarang ini pelbagai pilihan dihidangkan di depan mata,” katanya.

Beliau juga tidak menafikan masalah sosial membelenggu masyarakat hari ini termasuk hubungan ibu bapa serta anak yang mempunyai kaitan dengan makanan dimakan, sumbernya dan apakah ia datang daripada rezeki diberkati hasil kerja mengikut syariat Islam.

Badli Shah berkata, bagi umat Islam adalah cukup mudah untuk menilai atau mengetahui kesan makanan yang dimakan terhadap pembangunan diri seterusnya melakukan tindakan perlu mengubah keadaan kepada lebih baik.

Sebagai contoh katanya, mereka yang menjaga ibadat serta memastikan rezeki yang dinikmati daripada sumber halal, hatinya akan jinak melaksanakan semua hukum agama sementara yang tidak memberi perhatian kepada perkara berkenaan, akan merasakan tuntutan agama sebagai bebanan.

“Perkara ini kita boleh nilai sendiri. Jika hari ini senang nak bangun solat Subuh, pasti makanan yang kita ambil itu bagus. Pandangan makanan tiada kaitan dengan peribadi tidak benar kerana apa yang kita makan memang mempengaruhi keperibadian,” katanya.

Katanya, sebagai pengguna, umat Islam sebenarnya mempunyai hak mutlak untuk membuat pilihan dan sewajarnya menggunakan kuasa bagi menentukan hanya makanan benar-benar diperakui halal dijual kepada orang Islam, bukan yang diragui statusnya.

Hakikatnya kuasa pengguna boleh menggugat keselesaan peniaga dan jika digunakan sepenuhnya boleh memaksa peniaga memohon sijil halal diiktiraf kerajaan sebagai usaha menarik pelanggan terutama umat Islam yang sepatutnya memastikan makanan dimakan benar-benar halal.

Keperluan membentuk kesedaran pengguna adalah agenda penting demi menjayakan usaha kerajaan mewujudkan Akta Halal dan penggunaan satu sijil halal yang diperakui di negara ini serta mengelak kekeliruan kebanjiran sijil halal swasta.

Jika dulu peniaga tidak bertanggungjawab dan mengejar keuntungan semata-mata boleh meletakkan ayat al-Quran atau perkataan halal sesuka hati di premis dan produk keluaran syarikat mereka, dengan kesedaran serta kuasa pengguna, jenayah penipuan demi menarik pelanggan Islam itu boleh dibanteras.

Sebaliknya, jika pengguna tidak ambil peduli dengan sikap peniaga bukan Islam mempergunakan taktik murahan itu untuk mengaut keuntungan, pengguna juga akan terus ditipu memakan makanan diragui status halalnya.

Perniagaan makanan terus berkembang dengan pembukaan lebih banyak medan selera serta restoran, maka apabila pengguna Islam bertindak menjaga sumber makanan hanya yang halal, ini akan memaksa peniaga memenuhi tuntutan pengguna.

Kesedaran dan keprihatinan perlu datang daripada pengguna sendiri terutama umat Islam untuk mengambil tahu dengan terperinci makanan atau barangan dibeli itu benar-benar halal mengikut syariat Islam.

Ketika membeli-belah, berapa ramai antara kita membelek pek dan tin untuk melihat logo halal dikeluarkan Jakim atau Jabatan Agama Islam Negeri (Jain)? Ketika makan di restoran diragui, berapa ramai akan bertanya peniaga apakah makanan yang dijual halal? Isu sebegini kepada umat Islam, tepuk dada tanya iman.

Vaksin oral rotarix dicemari vaksin babi


Gempar!!:Vaksin oral rotarix dicemari vaksin babi

Persatuan Pengguna Pulau Pinang (CAP) amat terkejut dengan sikap mendiamkan diri oleh Kementerian Kesihatan dan GlaxoSmithKline Malaysia (GSK) berhubung meluasnya pencemaran Rotarix, vaksin oral GSK yang diberikan kepada bayi berusia kurang daripada 12 bulan untuk mencegah rotavirus yang boleh menyebabkan gastroenteritis yang membawa kepada muntah, cirit birit dan demam.

Kelompok Rotarix di seluruh dunia telah tercemar dengan bahan genetik daripada porcine circovirus jenis 1 (PCV1) – virus yang biasanya ditemui dalam babi.

Rotavirus adalah genus virus RNA dalam keluarga Reoviridae.

Ia merupakan penyebab utama cirit birit yang teruk dalam kalangan bayi dan kanak-kanak dan merupakan salah satu daripada beberapa virus yang menyebabkan Rotavirus gastroenteritis, penyakit sederhana hingga ke peringkat yang teruk dengan ciri-ciri muntah, cirit birit berair, demam dan biasanya dikenali sebagai stomach flu, ia tidak mempunyai kaitan dengan selesema.

Menjelang usia lima tahun, hampir setiap kanak-kanak di dunia ini dijangkiti dengan rotavirus sekurang-kurangnya sekali.

Bagaimanapun, dengan setiap jangkitan, imuniti akan berkembang dan jangkitan seterusnya akan menjadi kurang teruk dan orang dewasa jarang terjejas.

Terdapat tujuh spesies virus ini yang dirujuk sebagai A, B, C, D, E, F dan G, kesemuanya juga menyebabkan penyakit terhadap binatang lain. Rotavirus A, yang paling biasa menyebabkan lebih daripada 90 peratus daripada jangkitan pada manusia.

Vaksin rotavirus seperti GSK Rotarix sepatutnya untuk melindungi kanak-kanak daripada rotavirus.

Laporan media menjelaskan Rotarix diperbuat daripada rotavirus manusia yang lemah yang dibesarkan di dalam sel hidup.

GSK menggunakan sel buah pinggang monyet untuk tujuan ini.

Menurut Dr Margaret Hamburg, Pesuruhjaya Pentadbiran Makanan dan Ubatan Amerika Syarikat (FDA), cebisan DNA PCV1 ditemui dalam bank sel Glaxo, bermakna ia hadir daripada perkembangan awal vaksin yang pada hakikatnya vaksin sepatutnya hendaklah disteril (bersih dari kuman).

Kemungkinan besar GSK tidak menyedari sesuatu yang janggal ini dalam vaksin mereka lama sebelum 2006 apabila mereka menjalankan ujian klinikal ke atas Rotarix untuk kanak-kanak.

Kami mempersoalkan kenapa GSK tidak membuat sebarang usaha untuk mengasingkan dan memusnahkan virus ganas PCV1 dalam pelbagai bahan genetik yang diperlukan untuk menghasilkan vaksin apabila ia boleh dilihat dengan jelas oleh saintis jika keselamatan diutamakan.

Amat mengejutkan sekali apabila GSK membenarkan keadaan berbahaya untuk berterusan sehingga beberapa tahun sehingga ia muncul sebagai pencemar untuk vaksin bagi kanak-kanak semuda seusia enam minggu.

Pada hakikatnya, GSK hanya melaporkan penemuannya sendiri berhubung kehadiran PCV1 dalam Rotarix kepada FDA pada 15 Mac, berdasarkan kepada kerja yang pada asalnya dilakukan oleh pasukan penyelidik akademik.

Diikuti oleh ujian susulan yang dijalankan bersama oleh GSK dan FDA mengesahkan penemuan pasukan itu dan mengesahkan komponen viral terdapat sejak peringkat awal perkembangan vaksin termasuk sewaktu ujian klinikal.

Terdapat dakwaan bahawa tiada bukti bahawa terdapat risiko kepada pesakit yang menerima vaksin ini, bagaimanapun FDA pada 22 Mac memutuskan untuk berhati-hati dan mengeluarkan amaran kepada pakar kanak-kanak di seluruh negara di Amerika Syarikat untuk menghentikan memberikan Rotarix kepada pesakit mereka sementara menunggu siasatan yang dijangkakan berakhir dalam masa enam minggu.

Pihak FDA juga mengakui sehingga kini virus babi yang khusus ini bukanlah satu-satunya yang mereka fikirkan pembuat vaksin perlu untuk memeriksa produk mereka.

Pada hari ini (27 Mac), Kementerian Kesihatan Emiriyiah Arab Bersatu (UAE) telah mengambil isyarat daripada FDA dan telah mengarahkan pergantungan segera pengimportan, pengedaran dan penjualan Rotarix dan pengharaman sementara penggunaannya untuk kanak-kanak.

Jordan melalui Pentadbiran Makanan dan Ubatan juga telah menerima pakai pendirian FDA dengan menggantung semua preskripsi Rotarix memandangkan mereka bimbangkan risiko kesan sampingan yang tidak diketahui daripada PCV1.

Lembaga Sains Kesihatan Singapura (HSA) telah meminta doktor menangguhkan vaksinasi Rotarix atau menggunakan alternatif sementara HAS bekerjasama dengan GSK untuk menentukan jika sebarang kelompok vaksin Rotarix telah tercemar.

Dalam satu kenyataan, Pertubuhan Kesihatan Sedunia (WHO) menggesa negara yang menggunakan Rotarix supaya “berhati-hati mempertimbangkan manfaatnya untuk terus menggunakannya dalam sebarang keputusan.

Sementara itu, Pengarah Klinikal R & D dan Hal Ehwal Perubatan GSK Malaysia dan Singapura, Dr Teoh Yee Leong, berkata pembuat ubat itu memberikan jaminan kepada HAS bahawa mereka akan “terus berkongsi maklumat dengan HAS apabila ia diperolehi”, kerjasama yang sama seperti itu dilihat tidak dihulurkan kepada pihak Kementerian Kesihatan kita.

Berdasarkan kepada sikap berdiam diri Lembaga Kawalan Ubatan (DCA) Kementerian Kesihatan berhubung perkara ini, ia dilihat GSK mempunyai alasan enggan untuk mendedahkan sebarang maklumat berhubung isu kritikal ini kepada Kementerian Kesihatan walaupun sudah 12 hari sejak perkara ini dilaporkan kepada USFDA.

Sementara amat bekerjasama dengan HSA Singapura, GSK Malaysia dilihat menyokong sepenuhnya di sebalik Kementerian Kesihatan yang secara terbuka menyarankan penggunaan Rotarix di Malaysia. Kami bimbang jika ini kesnya yang sebenar atau rakyat dibiarkan dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa.

Dalam sebuah negara yang mempunyai rakyat beragama Islam sebagai majoriti seperti negara kita, amat difahami bahawa isu seperti ini boleh menjadi sesuatu yang sensitif, terutama sekali memandangkan vaksin itu tercemar daripada virus yang berasal daripada babi.

Sepertimana yang kita semua tahu, pengambilan babi adalah ‘haram’ atau dilarang kepada orang Islam. Salah satu rasional saintifik kenapa babi dikategorikan sedemikian oleh Islam memandangkan kepada kehadiran sejenis parasit seperti Taenia solium (pork tapeworm) dan Trichinella spiralis (trichina worm) dan mikroorganisma seperti procine circovirus jenis 1 yang tidak diragui lagi berbahaya kepada kesihatan manusia.

Sebab itulah Rotarix yang tercemar dengan PCV1 tidak dapat diterima oleh orang Islam tetapi Kementerian Kesihatan mempunyai tanggungjawab bukan hanya kepada orang Islam tetapi juga kepada semua rakyat yang beragama lain di negara ini untuk menjelaskan situasi serta mengambil langkah segera untuk menarik balik dan menganalisis kelompok Rotarix yang sedia ada itu tercemar dan mengumumkan amaran di seluruh negara serta menggantung vaksin itu sehingga ia terbukti selamat.

Kerajaan UAE dan Jordan di mana Islam merupakan majoriti dan agama rasmi telah menjadi contoh dalam tindak balas mereka yang proaktif dan segera terhadap ancaman pencemaran Rotarix.

Mereka telah menunjukkan keprihatinan dan tanggungjawab kepada warganegara mereka memandangkan kepada keadaan ancaman iaitu membahayakan kesihatan serta mempunyai kaitan dengan agama dan mereka telah mengumumkan keputusan mereka untuk khalayak ramai.

Sama ada GSK Malaysia telah memberikan amaran atau tidak kepada Kementerian Kesihatan, kami mempersoalkan kenapa Kementerian Kesihatan masih belum mengisytiharkan amaran ke seluruh negara dan menggantung vaksin Rotarix sekarang dan menjalankan ujian keselamatan yang ketat ke atas kelompok Rotarix yang sedia ada.

Apakah yang telah dilakukan oleh Kementerian Kesihatan untuk memberitahu dan menyakinkan rakyat terhadap keselamatan anak-anak mereka?

Apakah yang menghalang Kementerian Kesihatan daripada menjalankan tugas dan tanggungjawab kepada rakyat? Rakyat mempunyai hak untuk mengetahui jika kepercayaan agama dan kesihatan mereka mungkin dikompromikan.

CAP menggesa Kementerian Kesihatan supaya mengumumkan dengan segera kepada rakyat berhubung dengan situasi pencemaran Rotarix di negara ini dan langkah yang diambil untuk mengawal keadaan.

DOA ANGIN AHMAR


DOA ANGIN AHMAR

بسم الله الرمن الرحيــــــم

وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ بِسْـمِ اللهِ وَبِاللهِ وَمِنَ اللهِ وَإِلَى اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلا الله وَاللهُ أَكْبَرُ وَاَعَـزُّ وَاَجَلُّ مِمَّا اَخَافُ وَأَحْذَرُ . اَللهُ أَكْبِرْ كَبِيْرًا ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا ، وَسُـبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِـيْلا . بِسْـمِِ الله الْشَّافِى بِسْـمِ اللهِ الْكَافِى بِسْـمِ اللهِ الَّذِى لا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَئُُُ فِى الاَرْضِ وَلا فِى الْسَّمَاءِ وَهُوَ الْسَّمِيْعٌ الْعَلِـْيم . وَنُنَزِّلَ مِنَ الْقُرْْءَانِ مَاهُوَ شِفَاءٌ وَرَِحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ. اَللَّهُمَّ أناََ الرَّاقِى وَاَنْتَ الشَّافِىأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّمَا قَضَيْتَ. اللهُ أَكْبَرْ اللهُ أَكْبَرْ اللهُ أَكْبَرْ أَيُّهَا الْمَلَكَانَ الأَكْبَرَانَ أَعُوْذُ بِاللهِ رَبِّى وَرَبُّكُمَا وَخَالِقِى وَخَالِقِكُمَا وَمُصَوِّرِى وَمُصَوِرَكُمَا خَالِقِ الْصُّوَرِ وَرَازِقِ الْبَشَـرِ.أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ جَمِيْعِ الآفَاتِ وَالْعَاهَاتِ وَالْبَلاَءِ وَالأمْرَاضِ وَالأسْقَامِ وَالْكَسَلِ وَالْخُمُوْدِ وَالْخَبَالِ. اَعِذْ حَامِلْ كِتَابِى لِهَاذَا بِاسْـمِكَ الْعِظَامِ وَآلآئِكَ التَّمَامِ يَا ذَا الْجَلالِ وَالإكْرَامِ يَا مَنْ لَهُ الْمُلْكُ وَالْمَلَكُوْتُ يَامَنْ لَهُ الْجَلالُ وَالْجَبَرُوْتُ. سُبْحَانَكَ مَا أَعْظَمَ شَأنُكَ يَا فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ، يَامَلْجَاءَ الْمَلْهُوْفِيْنَ يَاَرْاحَمَ الْمَسَاكِيْنَ يَاذَا الْعَظَمَةِ وَالْسُّـلْطَانَ ، يَاذَا الْرَأْفَةِ وَالإِحْسَانِ. يَا حَنَّانُ يَا مَنَّانُ يَا قََاهِرُ لايُقْهَرُ يَاجَائِرُ لايُجَارُ عَلَيْهِ . أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ الْبَدَنِ وَالْمِحَنِ وَأَعُوذُبِكَ مِنَ الرِّيْخِ الأحْمَرِ وَمِنَ الدَّاءِ الأكْبَرِفِىْ النَّفْسِ وَالرُّوْحِِ وَالدَّمِ وَاللَّحَمِ وَالْعِظَمِ وَالْجِلْدِ وَالْعَرُوْقِ وَالْعَصْبِ ، سُبْحَانَكَ إِذَا قَضَيْتَ أَمْرًا فَإِنَّمَا تَقُوْلُ لَهُ كُنْ فَيَكُوُْن. اَللهُ أَكْبَرْ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ . يَا بَارِىءُ يَابَرُّ يَامُغِيْثُ يَاجَبَّارُ يَاقَهَّارُ يَاقَاسِطُ يَامُقسِطُ يَاقََائِمًا بِالْقِسْطِ يَاصَرِيْخَ الْمُسْتَصْرِخِيْنَ يَامُبْدِىءُ يَامُعِيْدُ يَادَافِعُ يَاكَافِى يَاشَافِى يَامُعَافِى يَاغَيَاثَ الْمُسْتَغِيْثِيْنَ . يَاشَاكِرُ يَاشَكُوْرُ يَاعَطُوْفُ يَارَؤُوْفُ ياَنَاصِرُ يَانَصِيْرُ يَاقَادِرُ يَامُقْتَدِرُ يَااَهْيَا يَاشَرَاهِيَا اَدْوَنَاىَ اَصْبَاؤُتَ آلَ شَدَّاىْ اَلْوَهَيْمَ. يَابُيُوْنَاشَمْخِيَّا يَا شَمْخِيْثَا يَاعَظِيْمُ يَامُقَدِّمُ يَامُؤَخِّرُ يَاحَىُّيَاقَيُّوْمُ يَاقََائِمًا عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ يَا سَيِّدَاهْ يَامَوْلاهُ يَامَالِكَاه يَاغَايَه يَارَغَبَاه يَامَنْ يَعْلَمُ مَا نُخْفِى وَمَا نُعْلِنُ ، يَا أَحْكَمَ الْحَاكِمِيْنَ. يَا وَلِىُّالْمُؤْمِنِيْنَ يَا عَوْنَ الْضُّعَفَاءِ وَالْمَسَاكِيْنَ يَاكَافِى الْمُتَوَكِّلِيْنَ يَا مُكَرِّرَالْلَّيْلَ عَلَى الْنَّهَارِ وَالْنَّهَارِ عَلَى الْلَّيْلَ يَاقََاهِرَ كُلِّ شَيْطَانٍ مَرِيْدٍ يَاقَاهِرَكُلَّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ . يَانِعْمَ الْمَوْلىَ وَيَانِعْمَ الْنَّصِيْر،يَارَازِقَ الطِّفْلِ الصَّغِيْرِ، يَاَرَاحِمَ الشَّيْخِ الْكَبِيْر، يَا وَلِىَّ الْمُؤْمِنِيْنَ، يَاإِلَهَ الاؤَّلِيْنَ وَالْلآخِرِيْنَ يَا حَبِيْبَ التَّوَابِيْنَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. يَاخَيْرَ الْغَافِرِيْنَ يَاخَيْرَ الْوَارِثِيْنَ يَا خَيْرَ الْفَاصِلِيْنَ يَامَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنَ . اَللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنَ وَعَلَيْكَ نَتَوَكَّلُ وَفِيْكَ نَرْغَبُ وَفِيْمَا لَدَيْكَ نَرْجُوْ وَمِنْكَ نَخَافُ . اَللَّهُمَّ اكْفِنِىْ جَمِيْعَ اَلآلآمِ وَالأسْقَامَ وَجَمِيْعَ الأمْرَاضِ وَالْعِلَلِ وَالدَّمِ اْلأَسْوَدِ. اَللَّهُمَّ اكْفِنِى الدَّاءَ اَلأكْبَرْ وَالرِّيْحَ اْلأحْمَرَ وَالدَّمَ اْلأصْفَرَ وَجَمِيْعَ اْلآفَاتِ وَالْعَاهَاتِ وَالسَّكِْتَةَ وَالْهَمَّ وَالْغَمَّ وَالْخُزْنَ وَالسَّجْنَ . اَللَّهُمَّ اكْفِنِى شَرَّ الْحُوْشِ وَالْهَوَامِ وَمُشَاحَنَةَ الْعَوَامِ وَاْلإنْهِزَامِ وَشَرَّ الْشَّيْطَانِ وَالسُّلْطَانِ وَالْقَحْطِ وَالْغَلاءِ وَالزِّلْزَالِ وَالْبَلاءِ وَهَدَمَ الْبِنَاءِ وَشَمَاتَةِ اْلأعْدَاءِ. اَللَّهُمَّ اكْفِنِىْ شَرَّاْلأشْرَارِ وَكَيْدِ الْفُجَّارِ وَمَا اخْتَلَفَ عَلَيْهِ الْلَّيْلُ وَالْنَّهَِارُ إلا طَارِقًا يَطْرُقُ بِحَيْرً يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . أَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّكُلِّ دَابَةٍ اَنْتَ آخِذُ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّىْ عَلَىْ صِرَاطٍ مُسْتَقِيْم . اَنْتَ رَبِّىْ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَاَنْتَ حَسْبِىْ وَنِعْمَ الْوَكِيْل، نِعْمَ الْمَوْلَىْ وَنِعْمَ الْنَّصِيْر . وَلاحَوْلَ وَلاقُوَّةَ إِلا بِاللهِ الْعَلِىِّ الْعَظِيْمِ وَحَسْبُنَا الله وَنِعْمَ الْوَكِيْل نِعْمَ الْمَوْلَىْ وَنِعْمَ الْنَّصِيْر . اَللهُ الْكَافِى اَللهُ الْشَّافِىْ اَللهُ الْحَافِىْ . وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَـيِّدِنـَا مُحَمـَّد وَعَلَى آلـِهِ وَصَــحْبِهِ وَسَــلَمْ وَالْحَـمْدُ لِلَّــهِ رَبِّ الْعَــالَمِيْنَ .

Pengertian Tawasul


Pengertian Tawasul
Dari:http://pondokhabib.wordpress.com

Tawasul[1] berarti perantara atau penghubung, sebagaimana Allah memiliki Ruhul Amiin, Jibril AS, untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW. Demikianlah pencapaian makrifat kepada Allah, yakni terungkapnya hijab dengan Allah melalui rantai-rantai wasilah, yakni perantara yang sampai kepada Rasulullah. Demikian karena si hamba dhaif lagi faqir, maka perlulah bertawassul kepada Balatentara Allah yang suci agar hajatnya mudah sampai hadhirat Allah Yang Agung lagi Suci daripada gambaran hamba yang hina.

Perintah Allah Ta’ala dalam Al-Quran:

“Wahai orang-orang yang beriman, taqwalah engkau kepada Allah dan carilah wasilah sebagai jalan yang mendekatkan dirimu kepadaNya dan bermujahadahlah (berjuanglah) pada jalanNya, supaya kamu mendapatkan keberuntungan”.[2] (QS. Al-Maidah[5]:35).

DR. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani mengatakan bahwa Al-Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah sebagai penyebab untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan penyambung untuk dipenuhNya segala kebutuhan. Untuk itu, demi menjayakan tawasul, yang ditawasuli atau yang menjadi perantara itu mesti mempunyai kedudukan dan kehormatan di sisi Allah SWT sebagai yang dituju dengan tawasul.

Orang yang bertawasul dengan perantara seseorang berkeyakinan bahwa orang tersebut adalah orang saleh atau Wali Allah atau orang yang memiliki keutamaan menurut prasangka baik terhadapnya. Orang-orang tersebut dianggapnya sebagai orang yang dekat kepada Allah dan dicintaiNya. Sebab orang yang menanamkan rasa cinta dan keyakinan yang erat pada kalbunya akan dibalas karenanya. Allah SWT berfirman: “….. Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya..” (QS. Al-Maidah[5]:54). Jadi orang yang bertawasul menurut hakikatnya bertawasul kepada Allah.

Seakan-akan orang yang bertawasul kepada seorang Awliya itu berkata, “Wahai Tuhan, sesungguhnya aku mencintai si Fulan. Aku berkeyakinan bahwa ia mencintai-Mu. Ia adalah orang yang suka beribadah secara ikhlas untuk berbakti kepada-Mu. Saya juga berkeyakinan bahwa Engkau mencintainya dan meridhainya. Maka aku bertawasul – membuat perantara – untuk menuju kepada-Mu dengan perantaraan kecintaanku kepadanya dan lewat keyakinanku mengenai dirinya, hendaklah Engkau mengabulkan permohonanku, dan ….” Tetapi kebanyakan orang tidak mampu merinci keyakinan mereka mengenai yang ditawasuli – yang menjadi perantara – dengan keyakinan bahwa Allah SWT Yang Mengetahui – yang mengetahui segala ada di langit dan bumi serta mengetahui kedipan mata dan apa yang tersembunyi di dada – itu lebih jeli dan lebih mengetahui keyakinan orang yang bertawasul terhadap yang ditawasuli.

Inilah juga yang mendasari tawasul dengan rabithah, yang hanya membayangkan wajah seorang Awliya (Mursyid) akan mendekatkan kalbu (dirinya) kepada Allah SWT, dan yang berabithah itu tidak merinci apa-apa yang terbetik dalam dadanya. Hal tersebut amat mujarab dan banyak terbukti, telah dilakukan oleh banyak kalangan Ahli Tasawuf dan Hakikat.

Kata-kata Al-Wasilah (perantara) yang dimuat ayat Al-Quran itu bersifat umum. Dengan demikian, ia mencakup tawasul dengan zat atau pribadi yang mulia dari kalangan para Nabi dan orang-orang saleh, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah wafatnya; juga mencakup tawasul kepada Allah dengan perantaraan amal-amal nyata yang baik yang diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Bahkan, amal perbuatan yang telah lalu dapat juga dijadikan sebagai wasilah atau perantara dalam bertawasul.

DR. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani menjelaskan beberapa makna bertawasul:

1. Tawasul termasuk salah satu cara berdo’a dan salah satu pintu untuk menghadap kepada Allah SWT. Jadi, yang menjadi sasaran atau tujuan asli yang sebenarnya – dalam bertawasul – adalah Allah SWT. Sedangkan yang ditawasuli (al-mutawassal bih) hanya sekedar perantara (wasithah dan wasilah) untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, siapa yang berkeyakinan selain demikian, sungguh ia telah menyekutukan Allah.

2. Sesungguhnya yang bertawasul itu tidak bertawasul dengan (menggunakan) perantara (al-mutawassal bih), kecuali karena ia mencintai perantara itu, seraya berkeyakinan bahwa Allah SWT-pun mencintai perantara tersebut. Jika tidak demikian, ia akan termasuk manusia yang paling jauh dari perantara tersebut, bahkan akan menjadi manusia yang paling benci kepadanya.

3. Jika yang bertawasul berkeyakinan bahwa yang ditawasuli atau yang menjadi perantara (al-mutawassal bih) itu berkuasa memberikan manfaat dan menolak mudharat dengan kekuasaannya sendiri – seperti Allah atau lebih rendah sedikit – maka ia telah menyekutukan Allah SWT.

Pada intinya tawasul itu sendiri merupakan wujud birokrasi umat sekarang terhadap umat terdahulu. Karena seandainya tidak ada jasa baik dan ijtihad umat terdahulu, maka tidak akan mungkin ada Iman dan Islam umat di akhir zaman. Inilah bukti komitmen orang yang bertawasul terhadap keberadaan mereka, sebagai realisasi perilaku orang-orang yang bermoral/berakhlak mulia.

Begitulah para ahli Thariqat, bertawasul kepada guru-gurunya hingga kepada Rasulullah SAW, yang menandakan keabsahan birokrasi Ilahiyah. Inilah kemudian yang dapat menjadikan layaknya mandat seseorang dalam memangku sebuah kepemimpinan semacam thariqat Rasul.

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)

[1] Pengertian Tawasul secara perkataan:

“Bertawasul ia kepadanya dengan suatu wasilah, sama dengan mendekatkan diri ia kepadanya dengan suatu amal”. (Lisanul ‘Arab, Juz XIV: 250)

[2] Dalam Al-Quran ada 2 tempat yang menyebutkan ‘Wasilah’, satu ayat lainnya Surat Al-Isra’[17]: 57): “Mereka mencari perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan”.

Pembahagian Tawasul

Tawasul itu terbagi menjadi tiga tingkatan nilai. Pertama yang dinilai sebagai Tawasul bis Silsilah, yakni bertawasul dengan jalinan yang bersambungan antara orang yang bertawasul dengan Guru-guru talqin dzikir hingga sampai kepada Rasulullah SAW. Tawasul inilah yang shahih dan utama, yang bersifat menyampaikan, karena mempunyai hubungan yang erat antara orang yang bertawasul dengan yang ditawasuli.

Yang kedua, dinilai sebagai Tawasul bil Barokah[1]. Yakni bertawasul dengan para Nabi, para Awliya dan Sholihin yang tidak mempunyai hubungan silsilah dzikir dengannya, meskipun jalinan yang ditawasuli itu merupakan orang yang amat dikenal kesalehannya seperti: Khalifah yang empat (Abu Bakar Ra., Umar Ra., Utsman Ra., Ali Ra.), para Imam madzhab, para Mursyid, Awliya, Shalihin, dsb. Bertawasul kepada mereka semua hanyalah sebagai penghormatan, dan kita mengharapkan keberkahan dari kesalehannya.

Yang ketiga, dimasukkan dalam kategori Tawasul lil Hadiyah. Yakni bertawasul atau memberikan Fatihah kepada orang-orang yang mempunyai hubungan/hak dengan kita, namun tidak mempunyai hubungan rantai zikir, seperti kedua orang tua, saudara-saudara kita sesama muslim, dsb. Dan kita tidak boleh menggunakan jalinan orang-orang yang masih diragukan kesalehannya, apalagi yang masih mengharapkan ampunan dan syafa’at dari orang-orang yang masih hidup. Secara syari’at kita-lah yang masih hidup yang pantas menolong mereka, bukan mereka yang kita mintakan tolong untuk menyampaikan hajat kita kepada Allah SWT.

Alat perantara zikir itu terdiri menjadi 2 bahagian: (pertama) dengan jalinan/tokoh yang telah mendapat mandat kekhalifahan (istikhlaf), dan diakui kesalehannya (dekat kepada Allah), dan (kedua) dengan amal saleh yang telah dilakukannya. Berkenaan dengan masalah ini Berkata Syaikh Ismail Al-Khalidi Rahimahullah:

“Dan wasilah (jalan) itu dengan segala macam amal salih. Dan tiadalah diperoleh amal salih itu kecuali dengan ikhlas. Dan tidaklah amal yang salih itu kecuali bersih daripada campuran-campuran kekotoran hati. Dan bagi kami telah berhasil dengan berbagai pengalaman-pengalaman bahwa sesungguhnya jika kami menyibukkan dengan Rabithah, maka hilanglah campuran-campuran lalai hati daripada amal-amal kami”. Jadi amal yang lalai itu hampa dan dengan wasilah maka hilanglah lalai itu. Sebab hilangnya lalai itu ialah Hudhurnya hati. Dan semulia-mulia & seutama-utama wasilah adalah dengan Rabithah.

Contoh bertawasul dengan amal adalah sebagaimana dituturkan oleh Rasulullah SAW kepada kita mengenai kisah 3 orang yang terhimpit di dalam gua. Hadits itu adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA. Berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

‘Terjadi pada masa dahulu sebelum kalian, ada 3 orang berjalan-jalan hingga terpaksa bermalam di dalam gua. Tiba-tiba ketika mereka sedang berada dalam gua itu, jatuh sebuah batu besar dari atas bukit dan menutupi pintu gua itu, hingga mereka tidak dapat keluar. Maka berkatalah mereka: ‘Sungguh tiada suatu yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya ini, kecuali jika bertawasul kepada Allah dengan amal-amal shalih yang pernah kamu lakukan dahulu kala’. Maka berkata seorang di antara mereka: ‘Ya Allah! Dahulu saya mempunyai ayah dan ibu, dan saya biasa tidak memberi minuman susu pada seorangpun sebelum keduanya, yakni ayah ibu saya meminumnya terlebih dahulu, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Maka pada suatu hari agak kejauhan bagiku menggembala ternak, hingga tidak kembali pada keduanya, kecuali sesudah malam dan ayah bundaku telah tertidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya, dan saya pun segan untuk membangunkan keduanya, dan saya pun tidak akan memberikan minuman itu kepada siapa pun kecuali ayah bunda saya. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar, maka bangunlah keduanya dan minum daripada susu yang saya perahkan itu. Padahal semalam itu juga anak-anakku sedang menangis minta susu itu, di dekat kakiku. Ya Allah! Jika saya berbuat itu benar-benar karena mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah keadaan kami ini’. Maka menyisih sedikit batu itu, hanya saja mereka belum dapat keluar daripadanya. Orang yang kedua berdo’a: ‘Ya Allah! Dahulu saya pernah terikat cinta kasih pada anak gadis pamanku, maka karena sangat cinta kasihku, saya selalu merayu dan ingin berzina padanya, tetapi ia selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang minta bantuan kepadaku, maka saya berikan padanya wang 120 dinar tetapi dengan janji bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Kemudian ketika saya telah berada di antara kedua kakinya, tiba-tiba ia berkata: ‘Takutlah kepada Allah dan jangan engkau pecahkan tutup kecuali dengan cara yang halal. Maka saya segera bangun daripadanya padahal saya masih tetap menginginkannya, dan saya tinggalkan dinar emas yang telah saya berikan kepadanya itu. Ya Allah! Bila saya berbuat itu semata-mata karena mengharap KeredhaanMu, maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini. Maka bergeraklah batu itu menyisih sedikit, tetapi mereka belum juga dapat keluar daripadanya’. Yang ketiga berdo’a: ‘Ya Allah! Saya dahulu adalah seorang majikan yang mempunyai banyak buruh pegawai, dan pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu, tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu, segeralah ia pergi meninggalkan upah dan terus pulang ke rumahnya tidak kembali. Maka saya pergunakan upah itu hingga bertambah dan berbuah hingga menjadi suatu kekayaan. Kemudian setelah lama datanglah buruh itu, berkata: ‘Hai Abdullah! Berilah kepadaku upahku yang dahulu itu!’ Jawabku: ‘Semua kekayaan yang di depanmu itu merupakan upahmu, berupa unta, lembu, dan kambing serta budak penggembalanya’. Berkata orang itu: ‘Hai Abdullah! Kau jangan mengejekku!’ Jawabku: ‘Aku tidak mengejekmu’. Maka diambilnya semua yang saya sebut itu dan tiada meninggalkan satupun daripadanya. Ya Allah! Jika saya berbuat itu karena mengharapkan KeridhaanMu, maka hindarkanlah kami dari kesempitan ini’. Tiba-tiba menyisihlah batu itu hingga keluar mereka semua dengan selamat’.[2]

Sedangkan contoh bertawasul dengan jalinan adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Thabrani dalam Mu’jamus Shagir, Al-Hakim Naisaburi dalam Mustadrak ash Shihhah, Abu Nu’aim dan Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwwah, Ibnu ‘Asakir Syami dalam Tarikh-nya, dan Imam Hafizh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur serta dalam Ruhul Ma’ani dengan sanad dari S. Umar bin Khatthab, menukil bahwa Nabi SAW bersabda:

“Ketika Nabiyyallah Adam melakukan dosa, ia menengadahkan kepalanya ke langit dan berkata: ‘Wahai Tuhan, aku memohon kepadaMu dengan Haq Muhammad agar Engkau mengampuniku’. Lalu Allah mewahyukan kepadanya: ‘Siapakah Muhammad?’ Nabiyyallah Adam menjawab: ‘Ketika Engkau menciptakanku, aku mengangkat kepala ke arah ‘ArasyMu, dan lalu aku melihat, di sana tertulis: Laa Ilaaha Illallaaah Muhammadur Rosulullaah. Akupun berkata kepada diriku, bahwa tiada seorangpun yang lebih agung daripada orang yang namanya telah Engkau tuliskan di samping NamaMu’. Ketika itu Allah mewahyukan kepadanya: ‘Dialah Nabi yang terakhir daripada keturunanmu, dan jika tidak karena dia, niscaya Aku tak akan menciptakanmu’.

Dalam suatu hadits yang ditakhrijkan Ibnu Majah dan An-Nisa‘i dalam Sunan-nya, demikian pula At-Tirmidzi (beliau memberikan nilai shahih atasnya), disebutkan:

“Bahwa seorang buta pernah datang kepada Nabi SAW seraya berkata: ‘Yaa Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat musibah pada mataku, maka berdo’alah engkau untukku kepada Allah’. Maka sabda Nabi SAW kepadanya: ‘Berwudhulah engkau dan shalatlah 2 raka’at, lalu katakan demikian: Yaa Allah, sesungguhnya aku bermohon dan menghadap kepada Engkau, dengan Nabi-Mu Muhammad. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menuntut syafa’at engkau dalam pengembalian penglihatanku ini. Yaa Allah, perkenankanlah syafa’at Nabi ini kepadaku. Dan sabdanya: ‘Maka jika ada bagimu sesuatu keperluan, katakanlah seperti itu!’ “

Demikianlah pembagian tawasul yang penting untuk kita pahami dengan sebenarnya. Selanjutnya cara bertawasul yang benar, harus diisi dengan hajat/keperluan yang benar pula. Sebab di masa sekarang ini, banyak orang yang menyalahgunakan tawasul untuk keperluan yang jauh dari Ridha Allah SWT, tidak sebagaimana para pendahulu kita yang menggunakan tawasul semata-mata untuk ibadah, atau mendekatkan diri (ber-taqarub) kepada Allah semata. Di antaranya adalah untuk mendapatkan ilmu-ilmu tertentu seperti kebal, dll., dijadikan nadzar untuk maksud-maksud duniawi, dsb. Kenyataan inilah yang membuktikan pentingnya pembimbing dzikir/tawasul bagi orang yang sedang menekuni jalan ini agar tetap lurus tawasul-nya awal maupun akhir.

Wallahu A’lam.

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)

Dikirim dalam Tarekat & Tasawuf, Tawassul

Jirus kubur


Tajuk:Jirus kubur
Dari:http://pondokhabib.wordpress.com

Syahid

Syahid

baca dengan teliti teks syahid dari kitab ini

Jirus kubur

Imam kita asy-Syafi`i meriwayatkan daripada Ibraahiim bin Muhammad daripada Ja’far bin Muhammad daripada ayahandanya bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. telah menyiram (air) atas kubur anakanda baginda Ibrahim dan meletakkan atasnya batu-batu kerikil. Riwayat ini terkandung dalam “Musnad al-Imam al-Mu`adzhdzham wal Mujtahid al-Muqaddam Abi ‘Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi`i r.a.“, juzuk 1, halaman 215.

Maka perbuatan baginda inilah yang dijadikan dalil oleh para ulama kita untuk menghukumkan sunnat menjirus atau menyiram air ke atas pusara si mati diiringi doa agar Allah mencucurikan rahmat dan kasih sayangNya kepada almarhum/almarhumah. Amalan ini sudah sebati dengan masyarakat kita, walaupun sesekali ada yang mempertikaikannya. Pernah aku mendengar seseorang dalam ceramahnya yang berapi-api membid`ahkan amalan ini. Maaf maaf cakap, mungkin pengajiannya belum tamat agaknya, atau mungkin waktu tok guru sedang mengajar bab ini dia tertidur atau ponteng tak turun kuliyyah agaknya.

Pihak yang melakukannya pula ada yang hanya ikut-ikutan sahaja tanpa mengetahui hukumnya dalam mazhab yang kita pegangi. Ada yang melakukannya tetapi tidak kena caranya sehingga berubah hukumnya dari sunnat menjadi makruh. Untuk manfaat bersama, amalan menjirus air ke kubur dipandang SUNNAT dalam mazhab kita Syafi`i. Tetapi yang disunnatkan hanya dengan air semata-mata dan bukannya air mawar sebagaimana kelaziman sesetengah masyarakat kita. Menjirus air dengan air mawar dihukumkan MAKRUH kerana ianya merupakan satu pembaziran. Dan mutakhir ini, timbul tradisi yang tidak sihat, di mana penziarah, terutama dari kalangan berada, membuang duit untuk membeli jambangan bunga untuk diletakkan di atas pusara, persis kelakuan dan perlakuan penganut agama lain. Kalau dahulu, orang hanya memetik bunga-bungaan yang ditanamnya sendiri di sekeliling rumah seperti daun pandan, bunga narjis dan sebagainya yang diperolehi dengan mudah dan tanpa sebarang kos. Ini tidaklah menjadi masalah kerana boleh dikiaskan perbuatan Junjungan yang meletakkan pelepah tamar atas kubur. Tetapi menghias kubur dengan jambangan bunga yang dibeli dengan harga yang mahal, maka tidaklah digalakkan bahkan tidak lepas dari serendah-rendahnya dihukumkan makruh yakni dibenci Allah dan rasulNya dan diberi pahala pada meninggalkannya, seperti juga menjirus kubur dengan air mawar. Maka hendaklah dihentikan perbuatan menghias-hias kubur secara berlebihan, membazir dan membuangkan harta. Adalah lebih baik jika wang yang digunakan untuk tujuan tersebut disedekahkan kepada faqir dan miskin atas nama si mati, dan ketahuilah bahawa sampainya pahala sedekah harta kepada si mati telah disepakati oleh sekalian ulama tanpa ada khilaf.

Kitab I'aanah

Kitab I'aanah


Dalam “I`anatuth Tholibin” karya Sidi Syatha ad-Dimyathi, jilid 2, mukasurat 135 – 136 dinyatakan:-
و يسن أيضا وضع حجر أو خشبة عند رأس الميت،
لأنه صلى الله عليه و سلم وضع عند رأس عثمان بن مظعون
صخرة، و قال: أتعلم بها قبر أخي لأدفن فيه من مات من أهلي.
و رش القبر بالماء لئلا ينسفه الريح،
و لأنه صلى الله عليه و سلم فعل ذلك بقبر ابنه إبراهيم.
راوه الشافعي، و بقبر سعد رواه ابن ماجه،
و امر به في قبر عثمان بن مظعون راوه الترمذي.
و سعد هذا هو ابن معاذ.
و يستحب ان يكون الماء طاهر طهورا باردا،
تفاؤلا بأن الله تعالى يبرد مضجعه.
و يكره رشه بماء ورد و نحوه، لأنه إسراف و إضاعة مال

Dan disunnatkan meletakkan batu atau kayu (nisan) di sisi kepala mayyit, kerana bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. meletakkan sebiji batu besar (nisan) di sisi kepala (kubur) Sayyidina ‘Utsman bin Madzh`uun, dan Junjungan bersabda: “Agar diketahui dengannya kubur saudaraku supaya aku boleh mengkebumikan padanya sesiapa yang mati daripada keluargaku”. Dan (disunnatkan) menyiram (menjirus) kubur dengan air agar debu-debu tanah tidak ditiup angin dan kerana bahawasanya Junjungan Nabi s.a.w. melakukan sedemikian pada kubur anakanda baginda Sayyidina Ibrahim sebagaimana diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi`i; Dan juga pada kubur Sa`ad (yakni Sa`ad bin Mu`aadz) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, dan Junjungan s.a.w. telah memerintahkan dengannya (yakni dengan menjirus air) pada kubur Sayyidina ‘Utsman bin Madzh`uun sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi. Dan yang mustahab adalah air tersebut suci lagi mensucikan dan sejuk (air mutlak biasa, jangan pulak disalahfaham dengan air sejuk peti ais plak), sebagai tafa`ul (mengambil sempena) mudah-mudahan Allah menyejukkan kubur si mati (yakni menyamankan keadaan si mati di tempat perbaringannya dalam kubur tersebut). Dan makruh menyiram atau menjirus dengan air mawar atau seumpamanya kerana perbuatan tersebut adalah satu pembaziran dan mensia-siakan harta.

Begitulah ketentuan hukum menjirus kubur dengan air biasa dalam mazhab kita asy-Syafi`i. Diharap sesiapa yang telah beramal, tahu yang amalannya itu adalah sebagai menurut perbuatan Junjungan Nabi s.a.w. dan hendaklah diharap pahala atas amalannya tersebut dengan niat mencontohi amalan baginda. Sebagai penutup aku ingin berkongsi satu doa yang disusun oleh ulama, yang munasabah dibaca tatkala menyiram air atas pusara bermula dari kepala si mati hingga ke kakinya, iaitu:-

سَقَى اللهُ ثَرَاهُ (ثَرَاهَا)

وَ بَرَّدَ اللهُ مَضْجَعَهُ (مَضْجَعَهَا)

وَ جَعَلَ الْجَنَّةَ مَثْوَاهُ (مَثْوَاهَا)
saqaa-Allahu tsaraahu; wa barrada-Allahu madhja`ahu; wa ja`alal jannata matswaahu

Moga-moga Allah menyirami kuburnya (dengan hujan rahmat dan kasih sayang serta menghilangkan dahaganya); Dan menyamankan tempat perbaringannya; Dan menjadikan syurga tempat kediamannya.

الله اعلم

Dikirim dalam Bidaah, Ziarah Kubur

Prof Dr Ali Jum’ah : Hukum Bertawassul Dan Dalil-dalil Sahih Bab 2


Prof Dr Ali Jum’ah : Hukum Bertawassul Dan Dalil-dalil Sahih Bab 2
Dimasukkan oleh IbnuNafis
Dari:http://pondokhabib.wordpress.com
Label: Soal Jawab Ibadah
3. Hadith pergi ke masjid untuk melaksanakan solat. Diriwayatkan dari Saidina Abu Sa’id Al Khudri radiyaLLahu ‘anhu dari Nabi sallaLlahu ‘alaihi wasallam bersabda; Siapa yang mengucapkan ketika keluar untuk melaksanakan solat:

“Ya ALlah, aku memohon kepadaMu dengan hak orang-orang yang memohon atas Mu dan dengan hak langkah-langkahku; bahawa sesungguhnya aku tidak keluar dengan keangkuhan, sombong, riya’ (minta dilihat), mahupun sum’ah (minta disebut). Aku keluar kerana takut terhadap kemurkaanMu dan mengharapkan redha-Mu. Aku memohon kepada-Mu untuk menyelamatkan diriku daripada api neraka dan mengampuni dosa-dosaku. Sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, ya ALlah.”

“Pastilah ALLah subahanahu wa ta’ala mewakilkan 70 ribu malaikat yang memohonkan keampunan untuknya dan ALlah subahanu wa ta’ala menghadap kepadanya dengan Wajah-Nya sampai dia selesai dari solatnya.”

(Hadith riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, vol 3, hlm 21; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, vol 1, hlm 256; Ibnu Khuzaimah, vol 17, hlm 18; Thobrani, Al Mu’jam Al Kabir, vol 2, hlm 990; Ibnu Sani, Amal Al Yaum wa Al Lailah, hlm 4; Baihaqi, Ad da’awat Al Kabir, hlm 47; Ibnu Abi Syaibah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, vol 10, hlm 211 dan 212; Abu Nu’aim Fadhl bin Dukain, diambil oleh Ibnu Hajar di dalam Amali al Adzkar, vol 1, hlmn 273; dan dikemukakan oleh Al Mundziri di dalam At Targhib wa At Tarhib, vol 1, hlm 135)

Ini adalah hadith Sohih; dinyatakan sohih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqolani (Ibnu Hajar, Amali al Adzkar, vol I, hlm 272), Al Hafizh Al Iraqi (Al Hafizh al Iraqi, Takhrij Ahadith al Ihya, vol I, hlm 291), Abu Hasan Al Maqdisi guru Al Mundziri (Al Mundziri, At Targhib wa At Tarhib, vol 3, hlmn 273), Al Hafizh Ad Dumyathi (Al Hafizh Al Dumyathi, Al Matjar Al Rabih fi Tsawab Al Amal Ash Shalih, hlm 471 dan 472) dan al Hafizh Al Baghawi (Al Hafizh Al Baghawi, Mishbab Az Zujajat, vol I, hlm 99).

Dan hadith ini adalah dalil yang menunjukkan bolehnya bertawassul kepada ALlah subahanahu wa ta’ala di dalam doa dengan amal soleh, iaitu berjalannya orang yang berwudhuk untuk melaksanakan solat, dan dengan hak orang-orang yang memohon kepada ALlah subahanahu wa ta’ala.

4. HAdith Saidina Anas radiyaLLahu ‘anhu yang berkaitan dengan kematian Fatimah binti Asad, ibu Saidina Ali radiyaLlahu ‘anhu ini adalah sebuah hadith yang panjang. Pada bahagian akhirnya, disebutkan… dan dia berkata
“ALlah subahanahu wa ta’ala yang menghidupkan dan mematikan, sedangkan Dia Maha Hidup, tidak pernah mati. Ampunilah ibuku, Fatimah binti Asad dan bimbing dia untuk menyampaikan hujahnya (menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat di kubur), serta luaskan baginya pintu masuknya, dengan hak Nabi-Mu dan Nabi-Nabi sebelumnya. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Penyayang daripada para penyayang,”

(Hadith Riwayat Thobrani, Al Mu’jam al Awsath, vol I hlm 68,; Thobrani Al Mu’jam Al Kabir, vol 24, hlm 351; Al Ashfihani, Hilyah Al Awliya, vol 3, hlm 21; dan disebutkan oleh al Haithami di dalam Majma’ Al Zawaid, vol 9, hlm 257)

Hadith ini disahkan oleh Ibnu Hibban dan juga Al Hakim di dalam kitab Al Awsath wa Al Kabir, Al Allamah Ibnu Hajar pula menyatakan di dalam Kitab Al Jawhar al Munazzam bahawa ia mempunyai sanad yang baik.

Terdapat kritikan terhadap sanad hadith ini yang menjadi perselisihan para ahli hadith tentang tokoh-tokoh periwayatnya. Hal ini disebabkan, di dalam mata rantai sanad terdapat Rauh bin Shalah. Ibnu Hibban menyatakan (Rauh bin Shalah) orang yang thiqah (terpercaya), sedangkan Ibnu Jauzi memasukkannya ke dalam kelompok orang-orang yang tidak diketahui identitinya.

Oleh itu, terdapat perselisihan pendapat tentang kesohehan dan kelemahan hadith ini. Terutamanya berkenaan status marfu’ sanadnya hingga Nabi SallaLLahu ‘alaihi wasallam. Namun makna yang terkandung di dalamnya sohih dan menguatkan hadith-hadith yang sebelumnya.

5. Hadith “Bantulah wahai para hamba ALLah subhanahu wa ta’ala” Diriwayatkan dari Saidina Ibnu Abbas radiyaLLahu ‘anhu bahawa RasuluLlah sallaLLahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“sesungguhnya ALLah subahanahu wa ta’ala mempunyai para malaikat di bumi selain para malaikah hafazhah. Mereka menulis setiap apa yang terjatuh dari pangkal pohon. Maka, jika salah seorang kalian tertimpa kesulitan (tersesat jalan) di tengah hutan, hendaklah ia menyeru: “Bantulah, wahai para hamba ALLah subahanahu wa ta’ala…

(Hadith riwayat Ibnu Abi Syaibah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, vol 6 hlm 91; Baihaqi, Syu’ab Al Iman, vol I hlm 183; dan disebutkan oleh Al Haithami di dalam kitab Majma’ Az Zawaid, vol 1, hlm 132).

Al Hafizh Al Haithami memberikan pendapat (pandangan) terhadap sanadnya. “Hadith ini telah diriwayatkan oleh Thobrani dan para tokoh periwayatnya adalah orang-orang thiqah (terpercaya).
(Al Haithami, Majma’ az Zawaid, vol 10, 132)

Dalam hadith ini terdapat dalil yang menunjukkan tentang meminta pertolongan kepada makhluk-makhluk yang tidak boleh kita lihat, seperti para malaikat. ALLah subahanahu wa ta’ala menjadikan mereka SEBAB dalam membantu kita dan kita boleh bertawassul dengan mereka kepada Tuhan kita dalam mencapai tujuan. Tidaklah jauh jika nak dibandingkan dengan para malaikat ini roh-roh orang yang soleh, kerana roh-roh mereka adalah jasad-jasad nurani yang tetap ada di alamnya sendiri.

Dikirim dalam Tawassul

Prof Dr Ali Jum’ah : Hukum Bertawassul Dan Dalil-dalil Sahih


Prof Dr Ali Jum’ah : Hukum Bertawassul Dan Dalil-dalil Sahih
Dimasukkan oleh IbnuNafis
Dari:http://pondokhabib.wordpress.com
Label: Soal Jawab Ibadah
Soalan :

Apakah boleh bertawassul dengan Nabi Muhammad sallaLlahu ‘alaihi wasallam di dalam doa setelah wafatnya Nabi SallaLlahu ‘alaihi wasallam?

Jawapan :

Makna tawassul banyak disalahfahami di dalam Islam pada masa kita sekarang, sehingga hal ini memaksa kita untuk melihat kembali makna dasar tawassul secara bahasa dan maknanya secara syariat sebelum berbicara tentang hukum tawassul dengan Nabi sallaLLahu ‘alaihi wasallam.

Makna Wasilah secara bahasa dan syariah :

Kata wasilah dari segi bahasa

Martabat atau kedudukan di sisi raja. Ia juga bermakna darjat, pangkat dan juga kedekatan. Jika seseorang bertawassul kepada ALlah subahanahu wa ta’ala dengan suatu wasilah, maka ertinya dia melakukan suatu amalan yang mendekatkan dirinya kepada ALlah subahanahu wa ta’ala. Perkataan Al Wasil bermaksud orang yang berhasrat kepada ALlah subahanahu wa ta’ala.

Makna wasilah secara syariat :

Maknanya tidak keluar jauh dari bahasa sebab urusan utama kehidupan muslim adalah bagaimana mendekatkan diri kepada ALlah subahanahu wa ta’ala mencapai keredhaan dan memperoleh pahala dariNya. Rahmat ALlah subahanahu wa ta’ala adalah Dia telah menetapkan bagi kita seluruh ibadah sebagai pintu mendekatkan diri kepadaNya. Maka orang Islam sentiasa mendekatkan diri kepada ALlah dengan pelbagai jenis ibadah yang telah disyariatkan oleh ALlah subahanhu wa ta’ala.

Ketika seorang Muslim melaksanakan solat. sesungguhnya ia sedang mendekatkan diri kepada ALlah subahanahu wa ta’ala dengan solat iaitu bertawassul kepada ALlah dengan solat ini. Oleh itu, kandungan al Quran seluruhnya memerintahkan kepada kita untuk berwasilah (mendekatkan diri) kepada ALlah subahanahu wa ta’ala.

ALlah menyebutkan kata wasilah di dalam kitab suciNya yang mulia di dalam 2 ayat. Pada ayat pertama ALlah menunrunkan perintah melakukannya. ALlah berfirman yang bererti :

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada ALlah subahanahu wata’ala dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya
(Al Maidah :35)

Pada ayat yang kedua, ALlah memuji orang-orang yang bertawasul kepadaNya dalam doa seruan mereka. ALlah subahanahu wa ta’ala berfirman yang bererti :

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan (wasilah) kepada Tuhan mereka, siapakah di antara mereka yang lebih dekat (kepada ALlah) dan mengharapkan rahmatNya dan takut akan azabNya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang amat (harus) ditakuti”
(Al Isra’ : 57)

Empat mazhab feqah besar sepakat di atas bolehnya bertawassul dengan Nabi sallaLlahu ‘alaihi wasallam bahkan menegaskan anjuran terhadap hal itu dan tidak membezakannya apakah dilakukan pada saat Baginda hidup atau setelah Baginda wafat.

Tidak ada yang berpandangan ganjil (berbeza) dari pendapat ini kecuali Ibnu Taimiyyah yang membezakan antara tawassul dengan Nabi sallaLlahu ‘alaihi wasallam pada saat masih hidup dan setelah Baginda wafat. Oleh itu, kami tetap mengajak umat Islam berpegang teguh dengan kesepakatan pendapat para imam yang merupakan tokoh-tokoh umat ini.

Agar tidak mengulang-ulang penjelasan, pada jawapan terhadap pertanyaan sebelumnya tentang firman Allah subahanahu wa ta’ala
“Sesungguhnya jikalau mereka, ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah subahanahu wa ta’ala dan RasulNya pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati ALlah subahanahu wa ta’ala Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang”.
(Surah an Nisa’ : 64)

Apakah ayat ini masih berlaku atau sudah berakhir setelah wafat Nabi Muhammad sallaLlahu ‘alaihi wasallam. Kami mengambil penjelasan daripada pendapat empat mazhab besar yang menegaskan mengenai galakan dan sunnahnya bertawassul dengan Nabi sallaLlahu ‘alaihi wasallam, dan meminta Baginda sallaLlahu ‘alaihi wasallam memohonkan keampunan untuk kita. Silalah untuk membacanya kembali. Selanjutnya, kami akan memaparkan dalil-dalil dari al Quran dan Sunnah yang menjadi landasan kesepakatan mazhab yang empat iaitu :

Dalil-dalil Al Quran al Karim :

1. Firman ALlah subahanahu wa ta’ala :

Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada ALlah subahanahu wa ta’ala dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.
(surah al Maidah ayat 35 )

Ayat yang pertama ini memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mendekatkan diri kepada ALlah subahanahu wa ta’ala dengan pelbagai bentuk pendekatan diri. Bertawassul kepada Nabi sallaLlahu ‘alaihi wasallam di dalam doa termasuk media pendekatan diri (qurbah), dan ini akan ditegaskan lebih terperinci di dalam pemaparan dalil-dalil Sunnah.

Tidak ada keterangan yang mengistimewakan satu cara bertawassul dibandingkan dengan cara yang lain. Perintah yang terkandung itu umum; mencakupi seluruh bentuk wasilah dan media yang diredhai ALlah subahanahu wa ta’ala. Doa itu sendiri ibdah dan diterima sepanjang doa itu tidak berupa permohonan untuk memutuskan hubungan (silaturrahim), perkara dosa, atau mengandungi ungkapan-ungkapan yang bertentangan dengan dasar-dasar aqidah dan prinsip-prinsip Islam.

2. Firman Allah subahanahu wa ta’ala :

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada ALlah subahanahu wa ta’ala) dan mengharapkan rahmatNya dan takut akan azabNya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”
(Surah al Isra’ ayat 57)

ALlah memuji orang-orang Mukmin yang memenuhi seruan ALlah subahanahu wa ta’ala dan mendekatkan diri kepadaNya dengan wasilah (jalan) dalam berdoa. Kami akan menjelaskan bagaimana seorang Muslim bertawassul kepada ALlah subahanahu wa ta’ala di dalam doanya daripada Sunnah.

3. Firman ALlah subahanahu wa ta’ala :

“Sesungguhnya jikalau mereka, ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah subahanahu wa ta’ala dan RasulNya pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati ALlah subahanahu wa ta’ala Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang”.
(Surah an Nisa’ : 64)

Ayat yang ketiga ini mengandungi ketegasan tuntutan dari ALlah subahanahu wa ta’ala kepada orang-orang yang beriman untuk datang kepada Nabi Muhammad sallaLlahu ‘alaihi wasallam dan memohon ampun kepada ALlah subahanahu wa ta’ala di depan Baginda sallaLLahu ‘alaihi wasallam yang mulia. Itu lebih dapat diharapkan untuk diterima permohonan ampun mereka.

Dalil hadith :

1. Diriwayatkan dari Saidina Uthman bin Hunaif radiyaLlahu anhu bahawa seorang lelaki yang rosak penglihatannya (buta) datang kepada Nabi, dia berkata,
“Berdoalah kepada ALlah semoga Dia menyembuhkanku”. Baginda menjawab “Jika kamu mahu, aku doakan. Sekiranya kamu mahu bersabar, kamu bersabar. Maka itu lebih baik bagimu.” Dia berkata, “Doakanlah kepada ALlah subahanahu wa ta;ala”. Lalu baginda memerintahkan kepadanya untuk berwudhuk, benar-benar di dalam melakukan wudhuk dan berdoa dengan doa ini.

Ya ALlah, aku memohon kepadaMu dan bertawajjuh (menghadapkan diri) kepadaMu dengan Nabi kami, Nabi rahmat Ya RasuluLlah, aku bertawajjuh denganmu (sebagai wasilah) kepada Tuhanku pada hajatku ini semoga diperkenankan untukku. Ya ALlah, berilah syafaat baginya padaku

(Hadith riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, vol 4 hlmn 138; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi vol 5. hlmn 569 dan dia berkata, “ini hadith hasan lagi sahih; Nasa’i, as Sunan al Kubra, vol 6 hlmn 169; Nasai Amal al Yaum al Lailah, vol 1 hlmn 417; Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah, vol I hlmn 441: Hakim, Al Mustadrak, vol I, hlmn 458 dan vol I hlmn 707, Al Mu’jam AsShagir, vol I, hlmn 306, Al Mu’jam al Awsath, vol 2, hlmn 105; dan Thobrani, al Mu’jam al Kabir, vol 9, hlmn 30)

Hadith ini dinyatakan sahih oleh Hakim dan Tirmidzi. Kami tidak mengetahui ada seseorang yang menyatakan dhoif. Hadith ini merupakan dalil Sunnah dan dianjurkan ungkapan ini di dalam doa-doa bahawa RasuluLlah sallaLlahu ‘alaihi wasallam mengajarkannya kepada salah seorang sahabatnya. Dan ALlah menampakkan mukjizat Nabi-Nya bahawa Dia memperkenankan doa orang buta tersebut di tempat itu juga.

Pada hakikatnya kami tidak perlu mengemukakan lingkungan cerita hadith ini yang terjadi pada masa Saidina Uthman bin Affan radiyaLLahu ‘anhu kecuali bahawa kita memerlukannya untuk mengambil dalil atas bolehnya berdoa dengan bentuk ungkapan ini setelah wafatnya Nabi dari kehidupan dunia. Apabila RasuluLLah sallaLLahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada salah seorang sahabatnya suatu bentuk ungkapan doa, dan sampai kepada kita dalam riwayat dan sanad yang sahih, maka itu menunjukkan atas sunnah dan dianjurkannua berdoa dengan menggunakan bentuk ungkapan itu dalam setiap waktu sampai ALlah mewarisi bumi dan orang-orang yang ada di atasnya. (Mewarisi bumi adalah ungkapan al Quran. Maksudnya, sampai alam semesta dan segala isinya ini hancur dan hanya ALlah sahaja yang kekal).

Menanggapi hal ini, Imam Syaukani berkata :
“Dalam hadith ini terkandung dalil yang menunjukkan bahawa bolehnya bertawassul dengan RasuluLLah sallaLLahu ‘alaihi wasallam kepada ALlah subhanahuwa ta’ala disertai dengan keyakinan bahawa, yang melakukan sebenarnya adalah ALLah. Dialah yang Maha Memberi dan Maha Menghalangi, Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendakiNya pasti tidak akan terjadi.”

Disebabkan oleh tidak adanya makna-makna usul (prinsip-prinsip usul fiqh) pada benak hati kebanyakan orang pada masa itu, kami harus mengemukakan cerita yang melingkupi munculnya periwayatan hadith tersebut. Dengan kisah ini, jelaslah bahawa salah seorang sahabat radiyaLlahu ‘anhu yang agung pernah memberikan arakan kepada seseorang yang mempunyai hajat dan mengajarkan doa ini kepadanya. Ini juga telah terjadi setelah Nabi sallaLLahu ‘alaihi wasallam wafat. Kisah daripada hadith ini kami kemukakan pada hujah kedua berikut.

2. Cerita dari sebuah hadith, ada seorang lelaki berkali-kali datang kepada Saidina Uthman bin Affan radiyaLLahu ‘anhu kerana suatu keperluan. Namun Saidina Uthman radiyaLlahu ‘anhu selalu tidak menoleh kepadanya dan tidak sempat memerhatikan keperluannya. Kemudian lelaki tersebut mengadkan persoalannya kepada Saidina Uthman bin hunaif radiyaLLahu ‘anhu. Maka Saidina Uthman bin Hunaif radiyaLlahu ‘anhu berkata kepadanya,
“Pergilah ke tempat wudhuk dan berwudhuklah. Kemudian pergilah ke masjid, lalu lakukan solat dua rakaat. Setelah itu berdoalah ‘Ya ALlah, aku memohon kepada-Mu, bertawajjuh (menghadapkan diri) kepada-Mu dengan Nabi kami, Nabi pembawa rahmat. Ya Nabi (Muhammad sallaLLahu ‘alaihi wasallam) aku bertawajjuh denganmu (iaitu sebagai wasilah) kepada Tuhanku sehingga diperkenankan untukku hajatku,” dan sebutkanlah hajatmu. Datanglah kepadaku sehingga aku boleh pergi bersamamu.”

Lelaki tersebut bergegas pergi dan melaksanakan apa yang dikatakan oleh Saidina Uthman bin Hunaif radiyaLLahu ‘anhu kepadanya. Kemudian dia mendatangi kediaman Saidina Uthman bin Affan radiyaLLahu ‘anhu. Baharu saja sampai, penjaga pintu terus menghampirinya dan membawanya masuk untuk menghadap Saidina Uthman bin Affan radiyaLlahu ‘anhu. Lalu saidina Uthman bin Affan radiyaLlahu anhu mempersilakannya untuk duduk bersama di atas permaidani dan berkata kepadanya, “Apa keperluanmu?” Lelaki itu pun menyebutkan keperluannya. Dan Saidina Uthman bin Affan radiyaLLahu ‘anhu meluluskan keperluannya. Kemudian dia berkata. “Kamu tidak menyebutkan keperluanmu hingga sekarang ini sahaja.” Dia juga berkata, ” Jika kamu ada keperluan, datanglah ke mari.”

Kemudian lelaki itu keluar dari kediaman Saidina Uthman bin Affan RadiyaLLahu ‘anhu, dan segera menemui Saidina Uthman bin Hunaif radiyaLlahu ‘anhu. Ia berkata kepadanya, “Semoga ALLah subahanahu wa taala membalas kebaikan untukmu. Sebelumnya dia tidak menghiraukan keperluanku dan tidak menoleh kepadaku, hingga hari ini setelah engkau dahulukan berbicara kepadanya tentang diriku.” Saidina Uthman bin Hunaif radiyaLLahu anhu menjawab, “Demi ALLah subahanahu wa ta’ala aku tidak pernah berbicara tentangmu kepadanya. Aku tetapi, aku pernah menyaksikan RasuluLLah sallaLLahu ‘alaihi wasallam bahawa seorang lelaki yang buta datang kepadanya..”
Kemudian dia pun menyampaikan hadith tersebut (di atas).

(Cerita ini diriwayatkan oleh Thobrani, al Mu’jam al Shagir, vol 1, hlm 306; Baihaqi di dalam kitab Dala’il Al Nubuwwah; dikemukakan oleh Al Mundziri di dalam kitab at Targhib wa at Tarhib, vol 1 hlm 273; disampaikan oleh al Haithami di dalam Majma’ Az Zawaid, vol 2 hlmn 279; dan dikemukakan juga oleh Al Mubarakuri di dalam Tuhfat al Ahwadzi, vol 10, hlmn 24)

Al ‘Allamah Al Hafiz As Sayyid AbduLlah bin Shiddiq Al Ghumari berkata, cerita ini diriwayatkan oleh Baihaqi di dalam kitab Dala’il al Nubuwwah dari jalur riwayat Ya’aqub bin Sufyan radiyaLLahu ‘anhu (menggunakan pola riwayat ‘haddathana’), dari Ahmad bin Syabib, dari ayahku (Syabib), dari Rauh bin Qasim, dari Abu Ja’far al Khathmi, dari Umamah bin Sahl bin Hunaif, dari bapa saudaranya, Saidina Uthman bin Hunaif radiyaLlahu ‘anhu, bahawa seorang lelaki berkali-kali datang kepada Saidina Uthman bin Affan RadiyaLlahu ‘anhu lalu dia menyebutkan cerita itu selengkapnya.

Kemudian dia berkata,
“Ya’qub bin Sufyan adalah al Nasawi seorang hafizh, imam dan tokoh thiqah, bahkan ia lebih thiqah dan hadith ini sanadnya sohih.”
Maka, cerita ini sangat sohih. Selaras di dalam menyatakannya sohih juga al Hafizh Al Mundziri di dalam kitab “Al TArghib wa al Tarhib”, vol 3, hlmn 606 dan Al Hafizh Al Haithami dalam kitab Majma’ az Zawaid, vol III hlm 379 (Al Allamah As Sayyid AbduLLah bin Shiddiq al Ghumari, Irgham Al Mubtadi’, Al Ghabi, hlm 6)

Cerita ini adalah dalil yang menunjukkan apa yang ditunjukkan oleh hadith disertai dengan penutupan pintu atas orang yang mencuba menghukum bahawa hadith ini khusus pada waktu Nabi sallaLLahu ‘alaihi wasallam hidup, dan tidak ada dalil yang mengkhususkan sebagaimana telah kami sebutkan. Akan tetapi, hal itu telah menguatkan kekukuhan dan mendukung kebenaran. Insya ALlah.

Dikirim dalam Tawassul
« Habib Ahmad bin Husein as-Segaf

KHENDURI ARWAH DAN TAHLIL


KHENDURI ARWAH DAN TAHLIL
Posted on by Al-Haqir Mahfuz Muhammad Al-Khalil
Dari:http://pondokhabib.wordpress.com

Persoalan Tentang Kenduri Arwah

Komen penulis tentang amalan kenduri arwah sebagai sesuatu yang bid’ah berdasarkan dakwaannya yang bersumberkan daripada Sharh al-Muhazzab oleh Imam Nawawi. Terjemahan beliau berbunyi begini: “Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si mati dan menghimpunkan orang ramai kepadanya adalah tidak diriwayatkan dari Nabi s.a.w. sedikitpun. Ia adalah bi’dah yang tidak disukai.”

Ulasan:

Mari lihat teks asal yang sepenuhnya ditulis oleh Imam Syairazi dalam al-Muhazzab dan syarahnya dalam al-Majmu’ oleh Imam Nawawi.
قال المصنف رحمه الله تعالى:
ويستحب لأقرباء الميت وجيرانه أن يصلحوا لأهل الميت طعاما لما روي أنه: ((لما قتل جعفر بن أبي طالب رضي الله عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم: اصنعوا لآل جعفر طعاما، فإنه قد جاءه أمر يشغلهم عنه)).
Maksudnya:
“Dan disunatkan bagi kerabat si mati dan jirannya untuk melakukan kebaikan kepada ahli keluarga si mati dengan menyediakan makanan sebagaimana yang diriwayatkan: ((Bahawasanya ketika terbunuh Ja’far Bin Abi Thalib, Nabi s.a.w. bersabda: “Buatlah bagi keluarga Ja’far it makanan, maka sesungguhnya telah datang kepada mereka suatu perkara yang menyibukkan mereka)).

Dinyatakan di dalam Syarh al-Muhazzab:

واتفقت نصوص الشافعي في الأم والمختصر والأصحاب على أنه يستحب لأقرباء الميت وجيرانه أن يعملوا طعاما لأهل الميت…
Maksudnya:
Telah sepakat nas-nas Imam Syafi’e di dalam al-Umm, Mukhtasar dan Ashab bahawa sunat bagi kaum kerabat si mati dan jirannya untuk menyediakan makanan bagi ahli si mati..”

Dan di dalam al-Majmu’ juga terdapat sepertimana yang ditulis oleh mereka yang berbunyi begini:
وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء، وهو بدعة غير مستحبة.
Maksudnya: Dan adapun menyediakan makanan oleh ahli si mati dan menghimpunkan orang ramai adalah tidak diriwayatkan dari Nabi s.a.w. sedikitpun, ia adalah bid’ah yang tidak mustahabbah (disunatkan).

Jawapan kami:

Dalam pernyataan di atas, bid’ah yang tidak disunatkan itu ialah amalan mengumpul orang ramai dan memberi makan kepada mereka. Sememangnya ini perkara yang menyusahkan keluarga si mati.

Adapun perkumpulan orang ramai untuk membaca tahlil, takbir, tasbih dan ayat-ayat al-Quran untuk dihadiahkan kepada si mati tidak disebut pengharamannya. Bahkan perkumpulan untuk berzikir dan membaca al-Quran adalah satu perkara yang sangat dianjurkan dan disokong oleh dalil-dalil umum yang lain.

Pemberian makanan (bukan dari harta warisan si mati) oleh keluarga si mati kepada orang ramai dengan niat bersedekah (dan pahalanya disedekahkan kepada si mati) juga disokong oleh dalil-dalil yang lain.

Maka jelaslah, maksud perkumpulan yang tidak disukai itu adalah dengan tujuan mengumpulkan orang ramai bagi menzahirkan ratapan kepada si mati. Ini dapat dilihat dengan jelas dari ayat yang seterusnya oleh Imam Nawawi di dalam Syarh al-Majmu’ yang berbunyi:

ويستدل بهذا بحديث جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال ((كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة)) رواه أحمد بن حنبل وابن ماجه بإسناد صحيح.

Dalam praktis hari ini, sememangnya anjuran Rasulullah s.a.w. ini dilakukan oleh pihak kerabat dan jiran-jiran dalam bentuk yang berlainan seperti sumbangan kewangan dan penyediaan makanan secara kerjasama di rumah ahli si mati.

Hakikatnya banyak perkara yang berubah dengan perkembangan cara hidup umat Islam, sebagai contoh, para ulama’ terdahulu tidak dibayar upah mereka oleh pihak kerajaan, namun pada hari ini, pendapatan para ustaz kita disediakan oleh pihak kerajaan. Adakah itu sesuatu yang salah? Bukankah di sana ada satu kaedah usuliyyah yang mengakui ‘perubahan hukum dengan perubahan masa dan tempat’ (تغير الأحكام بتغير الأزمان).

Walaubagaimanapun, bagi mereka yang mengamalkan amalan ini, ada di sana dalil-dalil yang mengharuskan amalan ini. Di antaranya:

1. Ahmad Ibn Muni’ mengeluarkan di dalam Musnadnya daripada al-Ahnaf Bin Qais, berkata: Apabila Sayyidina Umar r.a. telah ditikam beliau memerintahkan Suhaib untuk mengerjakan sembahyang dengan orang ramai selama tiga hari dan beliau meyuruh agar disediakan kepada orang ramai makanan. Isnadnya adalah baik. (Kitab al-Mathalib al-‘Aliyah oleh Ibnu Hajar al-Asqalani Juzu’:1 Ms: 199 No. Hadis: 709).

2. Imam Ahmad mengeluarkan dalam Bab Zuhud daripada Thawus, berkata: (Sesungguhnya orang yang mati itu diuji di dalam kubur selama tujuh hari dan mereka menyukai sekiranya diberikan makanan bagi pihak mereka pada hari-hari tersebut). Isnadnya adalah kuat. (Kitab al-Mathalib al-‘Aliyah oleh Ibnu Hajar al-Asqalani Juzu’:1 Ms: 199 No. Hadis: 710).
http://al-subki.blogspot.com/

Dikirim dalam Bidaah, Tahlil | Label: Ahmad Ibn Muni’, al-Majmu’, al-Muhazzab, al-Umm, Imam Nawawi, Imam Syafi’e, Imam Syairazi, Kenduri Arwah, Mukhtasar, Tahlil, takbir, tasbih